Tangan Besi

Terkadang untuk mengubah keadaan diperlukan seseorang yang bertipikal “tangan besi”. Klub sepak bola Manchester United misalnya. Manajer MU Sir Alex Ferguson berhasil menumbangkan dominasi Liverpool FC di ranah sepak bola Inggris dengan cara yang tidak biasa, dimana kerap kali ia menggunakan metode hair dryer kepada para pemainnya yang tampil buruk di lapangan. Hasilnya tidak percuma, 20 tropi Liga Inggris menjadi bukti sahih gaya kepemimpinannya itu.

Di dalam negeri, saat ini kita mengenal pelatih/manajer sepak bola Timnas U-19 bernama Indra Sjafri. Di tangannya Timnas U-19 mampu menampilkan gaya sepak bola elegan yang telah lama hilang sejak zaman Heri Kiswanto dan kawan-kawan. Hal ini didapat tidak dengan cara biasa pula. Kerap kali ia memaksa anak buahnya habis-habisan agar tampil superior siapapun lawan yang dihadapinya. Hasilnya pun tidak buruk, Timnas U-19 Korea Selatan pun kewalahan menghadapi Evan Dimas dan kawan-kawan yang super solid di lapangan meski dengan postur badan yang lebih pendek dari para pemain Korea Selatan. Di tangannya pula Timnas U-19 hingga saat ini steril dari hal-hal yang mengganggu konsentrasi para pemainnya. Salah satunya dengan menolak pertandingan-pertandingan uji coba dan melarang anak asuhnya menjadi bintang iklan. Sebab ia mau anak asuhnya menjadi bintang lapangan sejati.

Mengenai metode tangan besi ini sewajarnya pula diterapkan di Jakarta yang multi-problem. Syukurlah saat ini kota Jakarta dipimpin oleh 2 orang bertipe tangan besi demi merubah keadaan kota Jakarta yang semrawut. JokoHok, sebutan yang lazim untuk Jokowi dan Ahok, sedikit demi sedikit telah memberi dampak positif bagi keadaan Jakarta. Meski masih didera bermacam macam problem klasik seperti banjir dan macet, namun setidaknya saat ini satu demi satu masalah sudah mulai terurai.

Meski terkesan kalem, Jokowi bukanlah orang yang patut diremehkan dalam hal kepemimpinan. Bagi saya ia termasuk orang bertipe tangan besi. Sudah banyak pejabat pemda DKI Jakarta yang kena tuah gaya kepemimpinannya. Sudah banyak pejabat yang dimutasi atau diganti posisinya karena dianggap tidak becus dalam melayani masyarakat. Ya, memang terkadang para abdi negara ini lupa bahwa mereka sejatinya adalah pelayan masyarakat.

jokohok

Lain lagi dengan gaya Basuki Tjahaja Purnama atau yang sering dipanggil Ahok. Akibat tidak terlalu memedulikan gaya bahasa, kerap kali ia kena kritik karena dianggap kurang sopan atau terlalu keras. Namun demikian sejatinya 2 orang pemimpin ibukota ini sama saja, yakni bertipe tangan besi. Sampai-sampai Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, mengritik Ahok agar ia lebih piawai dalam berbicara, khususnya di depan awak media.

Kasus SMA 46 yang terjadi belakangan ini amat memprihatinkan. 36 orang siswa SMA 46 Jakarta Selatan membajak Kopaja 615 jurusan Lebak Bulus untuk menyerang siswa sekolah lain. Senjata tajam siap di kepalan tangan. Supir, kernet, dan penumpang bus tidak bisa berbuat apa-apa sebelum gelagatnya tercium oleh polisi yang sedang berpatroli.

Sebagian orang mungkin bertanya tanya, apakah pantas siswa-siswa yang “siap tempur” ini pantas dijatuhi sanksi keras dengan cara dikeluarkan dari sekolahnya?. Bagi saya yang pernah merasakan sekolah di tingkat SMA, tentu menilai pantas. Karena bagaimana pun siswa SMA itu sudah bukan anak kecil yang pantas dibebaskan dari hukum positif. Saya ketika SMA tidak pernah merasa sebagai anak ABG atau anak ‘bau kencur’. Kami merasa punya kehidupan sendiri, kami merasa bisa menentukan jalan hidup sendiri. Kami selalu beranggapan bahwa kami ini manusia dewasa yang setara dengan manusia dewasa lainnya.

Maka sudah sangat tepat jika Kepala Sekolah SMA 46 memberi sanksi tegas dengan mengeluarkan siswa-siswa yang terlibat tawuran tersebut demi menjaga nama baik sekolah dan menjaga siswa-siswa lain dari pengaruh yang tidak baik. Apalagi posisi Kepala Sekolah saat ini sangat kuat di mata hukum, mengingat para orang tua murid telah menyepakati aturan main sekolah tatkala pertama kali memasukkan anak-anaknya ke SMA 46 diatas kertas bermaterai Rp 6.000,-.

Meski kecewa berat, tidak sepantasnya para orang tua siswa-siswa yang terlibat tawuran mengancam somasi. Karena pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah tidak lain hanya menjalankan fungsi pendidikan. Mendidik itu tidak harus mengelus, namun terkadang perlu menjewer jika dirasa perlu. Apalagi ketika telah mengontaminasi dunia pendidikan, mata rantai kejahatan memang harus cepat-cepat diputus sejak dini, sebelum semuanya terlambat./**

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *