Dari pernyataan sikap tegas Indonesia terhadap Australia yang belakangan ketahuan mencuri info secara diam-diam hingga ke istana, maka ada beberapa hikmah dapat kita ambil sebagai pelajaran.
1. Arti Sahabat yang Sesungguhnya
Sebagai negara yang letaknya saling berdekatan, Australia menjadi salah satu negara yang dianggap memiliki posisi penting bagi Indonesia, begitu juga sebaliknya. Bahkan hingga saat ini Indonesia masih merupakan negara penyuplai daging sapi terbesar dari Australia.
Tidak hanya di tingkat perdagangan, kerjasama dalam membangun struktur militer dan pertukaran informasi masih dijalani bersama dengan digelarnya beberapa kerjasama militer hingga akhirnya dihentikan oleh pemerintah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah menaruh kepercayaan penuh terhadap Australia yang dianggapnya sebagai salah satu negara sahabat. Sahabat sendiri merupakan kata yang mencerminkan saling percaya, saling asah, saling asuh, saling asih antara satu sama lain. Kata sahabat lebih tinggi derajatnya dari sekedar teman.
Australia, dengan segala hormat, naga-naganya tidak begitu bijak dalam menyikapi arti sahabat. Dengan mencuri informasi secara diam-diam dari Ring-1 dan kolega di Indonesia, ini sama artinya dengan pura-pura menaruh kepercayaan belaka. Padahal sahabat, bagi Indonesia merupakan suatu cerminan pertemanan yang sangat erat. Ia bagaikan jika satu pihak mendapat ancaman, maka pihak lain akan sukarela membantu tanpa pamrih. Sahabat bukanlah mereka yang tersenyum di hadapan, menusuk dari belakang.
Maka bagi saya, pernyataan sikap tegas Indonesia memang sudah seharusnya dikedepankan, agar sadar bahwa khianat itu bukan perilaku mereka yang disebut sahabat.
2. Arti Kekuatan Informasi
Mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Nasional), AM. Hendropriyono mengungkapkan arti kekuatan informasi/berita. Menurutnya, dalam dunia intelijen, informasi yang datang dari seorang decision maker, planner, atau orang yang dianggap paling berpengaruh, ia digolongkan sebagai informasi level A, dan kekuatan informasinya diklasifikasikan sebagai informasi urutan 1.
Maka dapat apabila informasi yang didapatkan langsung dari mulut seorang raja, perdana menteri, atau presiden di suatu pemerintahan, maka informasi tersebut masuk dalam kategori sebagai A-1, alias sangat kuat/sangat terpercaya. Lain halnya jika informasi yang sampai merupakan informasi bawaan/turunan maka derajat kekuatan informasi tersebut digolongkan rendah atau tidak terlalu kuat.
Bagi saya yang memegang teguh keyakinan Islam sebagai agama, dua hal tersebut amat menarik perhatian. Karena menurut saya, disana ada satu persamaan jika ditinjau dari sisi ibadah dan muamalah (hubungan sosial).
Pertama, secara tidak langsung Islam telah lama memraktekkan dua hal tersebut di lingkungannya.
Junjungan umat Islam, Nabi Muhammad SAW terkenal memiliki empat orang sahabat yang pada akhirnya didapuk menjadi khalifah. Mereka adalah Abu Bakkar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Mengapa keempat orang ini disebut sahabat? bukan teman? karena mereka adalah orang terpilih yang kala itu sangat dipercaya bagi Rasulullah SAW. Sebaliknya, keempat orang ini juga sangat memercayai Nabi Muhammad SAW sepenuh hati dan raga mereka. Tidak ada kamus ‘khianat’ diantara Nabi SAW dan keempat orang sahabat ini.
Kedua, keharusan mengambil sumber informasi dari level A-1, telah lama pula dikerjakan oleh Rasul SAW, para sahabat, hingga generasi salafus shalih.
Kenyataan mengatakan bahwa para sahabat dan penerusnya hingga para ulama mujtahid amat mementingkan perlunya menimba informasi (baca: ilmu) langsung dari sumbernya. Imam Muhammad bin Idris, atau yang dikenal sebagai Imam as-Syafii contohnya. Tatkala ia menemukan kitab Muwatha’ yang disusun oleh Malik bin Anas (Imam Malik), maka perjalanan jauh antara Mesir dan Medinah ia jalani demi mendengar langsung tuturan kata demi kata dari si empunya kitab.
Meski telah hafal bab demi bab isi kitab Muwatha’ di luar kepala, ia tetap menganggap penting dan wajib bertemu dengan sumbernya. Hal ini secara gamblang menjadi cerminan kita bersama bahwa kekuatan informasi itu amat dianggap krusial bagi Islam, karena hal tersebut berhubungan langsung dengan ibadah vertikal dan hukum halal-haram.
Dari hal tersebut diatas, saya merasa perlu menarik hal ini ke permukaan mengingat saat ini banyak sekali informasi yang bertebaran di dunia maya, khususnya yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah namun tidak merujuk pada sumber yang kuat. Banyak sekali hal-hal yang sifatnya furu’iyah, namun bisa berujung pada pencelaan, penghinaan, dan perpecahan.
Ruh Islam itu pada dasarnya bukanlah sekedar copy-paste (copas). Memang benar yang di-copas adalah dalil yang derajatnya mutawatir atau sahih. Namun tanpa adanya seorang guru yang berkompeten yang mampu menerangkan maksud/pesan isi dalil tersebut, sama saja dengan meremehkan arti kekuatan informasi. Ketiadaan seseorang yang mampu menjelaskan suatu informasi yang sangat valid, maka kelak informasi yang sampai kepada akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak berharga.
Padahal derajat informasi yang memiliki landasan kuat dari sumber yang kuat pula, ia bagaikan bintang yang menjadi petunjuk bagi nelayan di malam yang gelap. Maka itulah sahabat, mari kita selalu mencari informasi dari sumber yang tepat dan terpercaya, agar hidup semakin bermakna.//**