Membuat suatu website itu ibarat filosofi Louis Van Gaal (mantan manager Manchester United), bahwa setiap pemain bola itu harus tahu alasan kenapa ia berada di posisi tertentu dan berpindah ke posisi lainnya.
Ya. Semua harus ada alasan. Karena tanpa alasan yang tepat, yang terjadi adalah pemborosan dan kerugian. Rugi materi, rugi tenaga, rugi waktu.
Kejadian ini merujuk pada project terkini yang saya jalani. Ada benang merah yang mesti menjadi perhatian bersama dalam membuat website dengan tampilan profesional.
Suatu kali saya mendapat pesan singkat di WhatsApp, yang intinya adalah permintaan dari seseorang untuk dibantu dibuatkan website. Dari hasil pembicaraan, ternyata ia sudah memiliki website yang dipergunakan untuk menjual produk/usahanya, namun ia sangat tidak puas dengan hasilnya.
Jadi ceritanya ia terjebak dengan frasa ‘harga murah’ yang ditawarkan untuk memiliki website resmi (dot com). Setelah membanding bandingkan satu dengan yang lainnya via Google, ia memilih penyedia jasa pembuatan website yang menawarkan harga paling murah, dan paling cepat jadi.
Apa yang terjadi?
Ternyata website yang ditawarkan merupakan template/theme yang seluruh elemennya wajib diisi sendiri oleh si pembeli domain tanpa bantuan fisik dari penyedia jasa website. Dengan pengalaman yang amat minim di bidang seni disain web, tentu hal ini menjadi kendala tersendiri bagi si pembeli domain.
Ya mungkin bagi sebagian orang hal itu bisa jadi dianggap tantangan untuk belajar membuat website yang elegan dan efektif. Namun pada kenyataannya seringkali hal tersebut malah membuyarkan fokus utama: selling!
Sesuai hakikatnya, pengusaha yang memiliki produk untuk ditawarkan tidak seharusnya berpikir keras mengenai disain website. Biarkan hal itu diberikan kepada ahlinya saja. Anda fokus ‘making money’ saja.
Dalam kasus kawan baru saya ini, mau hemat malah jadi pemborosan. Mau cepat, malah jadi lama, karena pusing mikirin elemen elemen apa yang mesti dimasukkan kedalam website barunya. Walhasil website yang diidamkan terasa masih jauh dari harapan.
Beruntung ia segera mencari solusi atas ‘ketidakpuasannya’, dan takdir Tuhan akhirnya mempertemukan kami.
Tanpa basa basi, saya lalu mengajukan ide untuk selanjutnya diwujudkan menjadi suatu website yang minimalis, elegan, dan tepat sasaran. Dan ia pun setuju dengan ide saya.
Ditimbang dari sisi harga, jelas ‘ono rego, ono rupo’. Terlihat jauh sekali perbandingannya. Namun demikian, apa yang saya tawarkan dalam membantu klien untuk membuat website adalah ALL IN, tidak ada istilah kata ‘setengah jadi’.
Well, saya bukanlah tipe orang yang menawarkan jasa pembuatan website dengan gaya Hit and Run. Semua harga standar untuk membuat website yang BAGUS, saya ajukan didepan. No tipu tipu, no hidden cost!. Semua dijelaskan di awal.
Kalau setelah dirinci kebutuhan akan website tersebut keluar angka mahal, ya saya katakan mahal. Kalau murah, saya katakan murah. Saya tentu punya banyak pertimbangan untuk menentukan apa dan bagaimana website calon klien akan dioperasikan nanti. Tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan? saya tidak peduli, karena profesionalitas membutuhkan komitmen bersama.
Dengan full service dan gaya apa adanya, ternyata semakin banyak klien yang percaya. Harga mahal? ngga juga. Dibanding punya website dengan tampilan berantakan, mending jualan saja via Instagram. Gratis lagi.
Mau tahu bedanya? Lihat disini.