Ketika tragedi Bom Kuningan Jakarta pada tahun 2004 menggegerkan kembali dunia internasional, Australia yang merasa kebakaran jenggot akibat lagi-lagi menjadi target para terroris lokal dalam menjalankan aksinya, berjanji akan melakukan preemptive strike di Indonesia. Pemerintah menganggap hal tersebut terlalu mengada-ada dan dipaksakan, mengingat Indonesia masih memiliki lembaga intelijen dan special force yang sudah barang tentu hal semacam itu adalah ‘makanan’ mereka sehari-hari.
Tidak hanya pemerintah, rakyat Indonesia sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Untuk apa negara lain perlu turut campur urusan dalam negeri Indonesia?. Benar kala itu sedang musim teror dimana-mana. Benar warga negara Australia di Indonesia banyak menjadi target empuk sasaran para teroris lokal. Benar kala itu kondisi alutsista Indonesia sedang dalam titik nadir. Namun preemptive strike? Fyuhh.. masih terlalu jauh untuk direalisasi di Indonesia yang sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat dalam menangani kasus terorisme sejak tahun 1981 dulu.
Sekedar diketahui, preemptive strike merupakan tindakan khusus yang dilakukan suatu negara untuk mengantisipasi adanya ancaman terhadap warga dan aset-asetnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada otoritas yang bersangkutan. Tindakan ini besar kemungkinan dipicu oleh beberapa hal semisal; ketidakpercayaan, menganggap adanya pembiaran, egosentris/perasaan superior, dan adanya kepentingan lain. Tindakan preemptive strike yang paling kasat mata adalah tindakan ‘semena-mena’ pasukan khusus Amerika (Seal Team 6) yang menguak persembunyian dan berhasil membunuh Osama Bin Laden dengan mem- bypass pihak otoritas Pakistan beberapa waktu silam.
Indonesia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memang belum lama ditinggal Timor Leste yang berhasil memisahkan diri. Dan pada saat itu pula Indonesia baru memasuki babak baru Era Reformasi dimana kondisi ini dianggap suatu ‘kelemahan baru’ oleh negara-negara tetangga. Bahkan sinyal lemahnya Indonesia di mata dunia internasional kala itu turut dimanfaatkan negara serumpun Malaysia untuk memenangkan kasus sengketa pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002.
Tindakan sadap menyadap yang terkuak baru-baru ini membuktikan bahwa sebenarnya Indonesia juga dianggap lemah oleh negara tetangga Australia. Bagaimana tidak? dengan berhasil mengumpulkan berbagai informasi sensitif dari beberapa pejabat tinggi negara, badan intelijen Australia DSD dengan seenaknya ikut nguping pembicaraan beberapa pejabat negara yang dianggapnya mempunyai posisi penting di Indonesia.
Atas alasan ini Australia berdalih bahwa semua negara di dunia pasti mengumpulkan informasi dari negara-negara lain. Atas alasan ini pula Australia menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan demi ‘keamanan regional bersama’. Dalih sama yang juga dilontarkan Presiden Amerika, Barrack Obama ketika ‘disemprot’ Perdana Menteri Jerman, Angela Merkel, yang ketika itu sempat misuh-misuh akibat merasa ‘ditelanjangi’ sahabat atau sekutunya sendiri.
Dalam dunia penyadapan (intersep) pejabat tinggi negara memang rentan menjadi korban, mengingat arus informasi dari berbagai lembaga strategis dalam negeri akan masuk ke kuping para pejabat tinggi negara ini. Tidak ada satu pun lembaga negara yang tidak menyampaikan tindakan strategis mereka kepada pejabat tinggi negara yang sedang berkuasa. Maka sadap-menyadap ini dianggap lumrah, mengingat arus informasi yang muncul bisa jadi ada keterkaitannya dengan kepentingan pihak lain di masa depan. Maka itulah sekecil apapun, informasi yang datang dari dan kepada seorang pejabat tinggi negara bisa jadi merupakan hal yang besar bagi kepentingan negara lain.
Toh dari aksi sadap-menyadap ini, pikiran saya tertuju dengan rencana negeri Paman Sam yang akan membangun pangkalan perangnya di Darwin Australia. 80 ribu marinir Amerika siap ditempatkan di Australia untuk mengimbangi kekuatan Cina yang dianggap mampu mengusik kepentingan negara adidaya tersebut di Asia.
Dari sini saya menilai posisi Indonesia menjadi amat strategis dan berpotensi menjadi grey area. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara dengan armada kekuatan militer besar yang amat ditunggu-tunggu keberpihakannya oleh Amerika, wa bil khusus oleh Australia yang letak geografisnya dekat dengan Indonesia. Apalagi sejarah membuktikan bahwa Indonesia memiliki sejarah mesra dengan Cina yang notabene saat ini menjadi negara komunis terbesar di dunia. Suatu hal yang mesti dicermati oleh negara tetangga.
Well, ada kemungkinan aksi sadap-menyadap yang terkuak ini pihak Australia tidak bekerja sendirian. Bisa jadi ada plot besar dibelakangnya, hingga Perdana Menteri Australia Tony Abbott sendiri bersikukuh tidak akan meminta maaf kepada Indonesia demi menutup-nutupi kemungkinan dikaitkannya sekutu-sekutu Australia lainnya. Maka itulah pas sekali bila ada ungkapan yang mengatakan bahwa tidak ada teman sejati dalam politik.
So Mr. President… siap menjaga jarak, atau tetap ewuh-pakewuh atas ‘penghianatan’ ini?.//**